BAB.I.
PENDAHULUAN
Ø Latarbelakang
Sesungguhnya Alloh Ta’ala menjelaskan berbagai hukumNya baik
dalam ibadah maupun mu’amalah. Terkandung di dalamnya kemaslahatan dan
kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Alloh telah mengatur manusia dengan
aturan baku, penuh hikmah dan tidak ada kezhaliman yang timbul darinya.
Sehingga terciptalah kerukunan, kedamaian dan terselesaikanlah pertikaian dan
perselisihan sesama manusia ketika memperebutkan hak masing-masing. Di antara
aturan tersebut, Alloh mengatur bagaimana manusia tukar menukar barang yang
saling mereka butuhkan dan tidak membiarkan manusia memenuhi kebutuhannya
menurut hawa nafsunya – yang memang diantara tabiat manusia ialah suka berbuat
zhalim terhadap sesama (firman Allah QS. Al-Ahzab [33]: 72) kecuali mereka yang
dirahmati Alloh Ta’ala.
Alloh
menjelaskan jalan-jalan menuju keridhaanNya dan menutup segala jalan menuju
kemurkaanNya. Sebagai satu bukti, ketika seseorang tidak mempunyai harta/uang –
sedangkan dia sangat membutuhkannya – maka dia boleh meminjam harta/uang kepada
orang lain baik dengan jaminan atau tanpa jaminan, demi terpenuhi kebutuhan
yang diinginkannya. Adapun barang yang dijadikan jaminan itu disebut barang
gadai.
Berikut
ini kami jelaskan sedikit masalah “gadai” menurut pandangan Islam dengan
merujuk kepada nash-nash / dalil-dalil yang shahih dan pendapat para ulama,
diantaranya empat madzhab yang telah kita kenal. Semoga Alloh memudahkan dan
menjadikan manfaat bagi kita semua.
Ø Permasalahan
ü Apa yang dimaksud makna gadai ?
ü Hukum gadai dalam islam?
ü Barang yang bleh digadaikan?
ü Hukum dari pemanfaatan barang gadai?
BAB.II.
PEMBAHASAN
PEMANFAATAN BARANG GADAI
Ø Makna Gadai
Makna gadai secara etimologi / bahasa adalah “tertahan”
sebagai mana dalam satu ayat al-Qur’an: “Tiap-tiap jiwa tertahan (untuk
mempertanggungjawabkan) atas apa yang telah diperbuatnya (QS. Al-Muddatstsir
[74]: 38) Atau bermakna “diam tidak bergerak”, sebagaimana dikatakan para ahli
fiqh: “Haram bagai seseorang kencing di air yang rahin, yaitu air yang tidak bergerak”
Makna gadai menurut istilah ahli fiqh adalah “barang yang dijadikan sebagai
jaminan hutang apabila tidak dapat melunasinya”. (Lihat Fathul Bari 5/173,
al-Mughni 6/443, Aunul Ma;bud 9-10 / 319)
Ø Hukum Gadai Dalam Islam
Para ulama bersepakat, hukum gadai secara umum
diperbolehkan[2]. Ini didasari beberapa dalil, di antaranya:
Dalil dari al-Qur’an
”Dan jika kamu dalam perjalanan (dan sedang bertransaksi
tidak secara tunai), sedang kamu tidak mendapati penulis, maka hendaklah ada
barang gadai (tanggungan) yang dipegang”. (QS. Al-Baqarah [2] : 283)
Dalil dari Sunnah
Dari Aisyah Radhiyallahu’anha bahwasanya Nabi Shollallahu
‘Alaihi Wasallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi, kemudian beliau
menggadaikan perisai perangnya. (HR. Bukhari 3/73, 81, 101, 186, 187, Muslim 3
/ 1226)
Ø Barang Yang Boleh Digadaikan
Segala sesuatu yang boleh diperjualbelikan maka boleh
dijadikan barang gadai / jaminan, sehingga apa saja yang tidak boleh
diperjualbelikan maka tidak boleh digadaikan. Hal ini dikarenakan maksud menggadaikan
sesuatu adalah untuk jaminan apabila tidak dapat melunasi hutangnya, sehingga
apabila penggadai (pemilik barang) tidak bisa melunasi hutangnya, maka barang
tersebut bisa dijual untuk melunasi hutang tersebut, dan ini akan terwujud
dengan barang yang bisa diperjualbelikan. ( ar-Raudhul Murbi’ Syarh Zadul
Mustawni’, Manshur bin Yunus al- Bahuti, hal. 364)
Ø Hukum dari Memanfaatkan barang gadai
Jumhur
(mayoritas) ulama bersepakat bahwa barang yang sedang digadaikan tidak boleh
dimanfaatkan oleh pemegang barang kecuali dengan seizin pemilik barang. Hal ini
disebabkan karena pemegang barang tidak memiliki hak, bahkan barang tersebut
sekedar amanah, sehingga tidak berhak memanfaatkannya. Hal ini didasari oleh
sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam: “Tidaklah halal harta seorang muslim
kecuali dengan kerelaan dari (pemilik)nya”. (Hadist shahih, dishahihkan
al-Albani dalam Shahih wa Dh’if Jami’ush Shaghir no. 7662 dan Irwa’ul Ghalil
no. 1761, 1459)
Ø Boleh Memanfaatkan Barang Gadai
Sekedar Pengganti Biaya Perawatan
Menurut madzhab Hambali yaitu diperbolehkan Apabila barang
gadai membutuhkan biaya perawatan seperti hewan yang membutuhkan biaya makan,
minum dan yang lainnya, maka biaya ini pada asalnya ditanggung oleh penggadai
(pemilik barang), karena pemilik barang pada asalnya menganggung semua kerugian
dan memiliki semua hasil keuntungan yang timbul dari barangnya.
Misalnya; apabila seseorang menggadaikan sebuah tokonya yang besar, sedangkan situasi di tempat tersebut tidak aman dan sangat dikhawatirkan adanya para pencuri yang akan mencuri di toko tersebut, maka pemegang toko boleh menyewa para penjaga toko/ satpam untuk menjaga agar toko terebut selamat dari gangguan pencuri, dan yang menanggung biaya sewa satpam adalh penggadai (pemilik toko) itu.
Misalnya; apabila seseorang menggadaikan sebuah tokonya yang besar, sedangkan situasi di tempat tersebut tidak aman dan sangat dikhawatirkan adanya para pencuri yang akan mencuri di toko tersebut, maka pemegang toko boleh menyewa para penjaga toko/ satpam untuk menjaga agar toko terebut selamat dari gangguan pencuri, dan yang menanggung biaya sewa satpam adalh penggadai (pemilik toko) itu.
Apabila
barang yang digadaikan bisa dimanfaatkan, sedangkan barang terebut membutuhkan
biaya perawatan, dan pemilik barang tidak memberi biaya perawatannya, maka
pemegang barang boleh memanfaatkannya, akan tetapi hanya sebatas / seimbang
dengan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan memelihara barang tersebut, hal
ini didasari oleh satu hadist: Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu berkata
bahwa Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Punggung (hewan yang dapat
ditunggani) boleh ditunggangi sebatas pengganti biaya yang telah dikeluarkan,
dan air susu (hewan yang bisa diperah susunya) boleh diminum sebatas biaya yang
telah dikeluarkan apabila (hewan-hewan tersebut) sedang digadaikan, serta yang
menunggangi dan yang minum susunya harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya”
(HR. Bukhari 2511, 2512)
Hadist di atas menunjukkan, pemegang barang berhak
memanfaatkan barang gadai sebatas pengganti biaya yang dikeluarkan untuk
perawatan barang gadai, seperti biaya makan dan minum setiap hari dan lainnya.
(Lihat Subulus Salam al-Mushilah ila Bulughil Maram 5/161) Dari hadist di atas
bisa kita ketahui bahwa bolehnya memanfaatkan barang gadai tersebut membutuhkan
biaya perawatan. Sedangkan barang gadai yang tidak membutuhkan biaya perawatan
selama digadaikan seperti perhiasan, alat-alat rumah tangga dan lainnya tidak
boleh dimanfaatkan oleh pemegang barang kecuali dengan seizin pemilik
barangnya, sebagaimana penjelasan yang telah lalu.
Dan dari hadist di atas pula (dari perkataan “sebatas biaya
yang dikeluarkan”), bahwa bolehnya pemegang barang memanfaatkan barang gadai
dengan syarat harus seimbang antara pemakaian/pemanfaatan barang dengan biaya
yang dikeluarkan untuk biaya perawatan barang tersebut, dan tidak boleh berlaku
zhalim atau sampai membahayakan barang gadai tersebut. Misalnya; apabila
seseorang menggadaikan sapi perahnya kepada orang lain, maka boleh bagi
pemegang barang memerah susu sapi tersebut dan memanfaatkan susunya sebatas
pengganti biaya perawatan sapi perah itu. Apabila biaya perawatannya selama
seminggu adalah sebesar Rp 100.000 sedangkan hasil perahan susunya selama satu
minggu adalah Rp 150.000, maka pemegang barang hanya berhak mengambil yang
seimbang dengan biaya perawatannya yaitu Rp. 100.000. kemudian pemegang barang
harus mengembalikan lebihnya yaitu Rp 50.000 kepada pemilk barang gadai karena
ini adalah haknya. (asy-Syahrul Mumti’ 9/97, dengan perubahan angka dan
penyesuaian)
Ø Apabila
Jatuh Tempo Pembayaran Hutang
Apabila
telah datang waktu (jatuh tempo) yang disepakati untuk pembayaran hutang, maka
ada beberapa kemungkinan yang terjadi:
- Apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang dan penggadai (pemilik barang) telah mendapati / mempunyai harta untuk melunasi hutangnya, maka dia harus bersedia membayar hutangnya, dan mengambil kembali barang gadai yang telah dijadikan sebagai jaminannya. Karena inilah kewajiban setiap orang yang mempunyai tanggungan, menepati perjanjian dan tidak mengingkarinya, sebagaimana firman Alloh berfirman: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad perjanjian kalian! (QS. al-Maidah [5] : 1)
- Apabila penggadai (pemilik barang) tidak bisa
melunasinya disebabkan ketidakmampuannya, maka disyari’atkan bagi pemegang
barang untuk bersabar menunggu sampai penggadai (pemilik barang) mampu dan
bisa membayar hutangnya, sedangkan penggadai (pemilik barang) harus
berusaha mendapatkan harta untuk melunasi hutangnya karena ini merupakan
tanggungannya. Firman Alloh Ta’ala :
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan (QS. al-Baqarah [2] : 280)
Dan
pemilik barang masih mempunyai kesempatan untuk mendapatkan kembali barang yang
digadaikan, dan barang tersebut masih tetap hak milik penggadai sebagaimana
sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang telah lalu. Ibnu Atsir mengatakan
, “Termasuk perbuatan kaum jahiliyah, apabila penggadai/pemilik barang tidak
mampu melunasi hutangnya, maka secara otomatis barang tersebut menjadi milik
pemegang barang. Agama Islam membatalkan anggapan seperti ini”
Akan
tetapi apabila pemegang barang ingin menarik / menuntut haknya karena dia
membutuhkannya – misalnya – maka dia berhak menuntut haknya supaya pemilik
barang bersedia menjual barang yang digadaikan tersebut, dan hasil penjualan
barang gadai dipakai untuk melunasi hutangnya.
- Apabila penggadai (pemilik barang) tidak mau melunasi hutangnya padahal dia dalam keadaan lapang atau mampu untuk melunasi hutangnya, maka hakimlah yang menghukumi masalah ini. Dan barang gadai harus dijual lantas hasil penjualannya dipakai untuk melunasi hutangnya, walaupun penggadai atau pemilik barang tidak rela barangnya dijual. Hal ini telah disepakati oleh para fuqoha (ahli fiqh) (Lihat Kasyful Qana’ 3/330, al-Fiqhul Islami 5/275 )
Ø Apabila Pemilik Barang Gadai Rusak /
Hilang Di Tangan Pemegang Barang
Apabila barang gadai rusak/hilang di tangan pemegang barang gadai tersebut, maka pemegang barang tidak menanggungnya, dan yang menanggung adalah pemilik barang (penggadai barang) itu sendiri, kecuali apabila ada unsur kesengajaan yang dilakukan oleh pemegang barang.
Hal
ini didasari oleh sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang telah lalu,
yaitu :”keuntungan dan kerugian adalah haknya (penggadai / pemilik barang)”. Dan
didasari pula karena barang yang ada di tangan pemegang adalah amanah, maka
barang tersebut tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan seizin pemiliknya yang
sah; sedangkan orang yang diberi amanah tidak menanggung kerusakan kecuali jika
ada unsur kesengajaan. Juga dikarenakan orang yang memegang amanah afalah orang
yang berbuat baik kepada sesamanya sehingga tidak ada jalan menyalahkannya
kalau dia tidak menyengaja. Alloh berfirman: “Tiada jalan sedikitpun untuk
menyalahkan orang-orang yang berbuat baik, dan Alloh Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (QS. at-Taubah [9] : 91)
Misalnya; seseorang menggadaikan mobilnya kepada si fulan,
kemudian si fulan menggunakan mobil ini untuk mengangkut penumpang tanpa seizin
penggadainya. Sehingga dalam jangka waktu sekian lama, mobil itu rusak dan
membutuhkan biaya perbaikan yang besar. Maka si fulan harus menanggung semua
biaya perbaikan mobil tersebut karena ada unsur kesengajaan dirinya atas
terjadinya kerusakan mobil tersebut
Misal lain; seandainya pada permisalan di atas tadi si fulan
tidak menggunakan mobil itu, bahkan menyimpannya di tempat yang selayaknya, kemudian
datanglah seorang pencuri pada malam hari dan mencuri mobil gadai tersebut,
maka si fulan tidak menanggung kehilangan mobil tersebut karena tidak ada unsur
kesengajaan dari si fulan (pemegang barang) ini.
Demikian pembahasan pegadaian menurut Islam. Mungkin masih
ada poin-poin yang belum terbahas dan kurang sempurna, atau belum mencakup
semua sistem pegadaian yang ada di tanah air kita.
Perlu diingat, hukum yang kami sebutkan dalam pembahasan ini
(diperbolehkannya pegadaian) adalah yang sesuai dengan syari’at Islam berikut
syarat-syarat yang telah kami sebutkan di atas. Adapun sistem pegadaian yang
ada di tanah air kita, maka tidaklah bisa dihukumi secara umum diperbolehkan,
terutama apabila didalamnya ada sistem-sistem yang menyelesihi syari’at Islam. (Dari
majalah al Furqon Edisi 7 / Shafar 1427 halaman 37-41
BAB.III.
KESIMPULAN
mayoritas
ulama mengembalikan hak pakai barang tersebut kepada pemilik aslinya asalkan
pemakaian tersebut tidak mengurangi nilai jual barang. Hal ini didasarkan pada
sabda Nabi:
لاَ
يَغْلَقُ الرَّهْنُ لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ
“Janganlah
(yang diberi gadai) menahan/mengambil barang gadaian (dari orang yang
menggadaikan) karena ia (yang menggadaikan) berhak atasnya dan menanggung biaya
pemeliharaannya.” (HR. Bihaqiy, Daruqutniy dan Ibnu Hibban).
Namun,
jika pemegang gadai membayar atau memberikan imbalan atas pemanfaatan barang
gadai tersebut sebesar nilai manfaat yang diambilnya, madzhab Hanbali
membolehkan. Mereka menilainya sebagi sewa. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi:
“(Hewan)
boleh dikendarai jika digadaikan dengan pembayaran tertentu, susu hewan juga
boleh diminum bila digadaikan dengan pembayaran tertentu, dan terhadap orang
yang mengendarai dan meminum susunya, ia wajib membayar”. (HR Bukhari, no :
2329).
Jadi kesimpulannya, pemanfaatan sawah dan membagi hasilnya menjadi dua atau bahkan sepenuhnya diambil pemberi hutang adalah dilarang. Karena berarti hutang itu berkembang dari jumlah yang dipinjam oleh peminjam misalnya sebesar 1 juta menjadi 1 juta + hasil panen selama masa peminjaman. Sebaiknya yang diserahkan cukup sertifikat saja agar tidak terjadi kerancuan. Toh nilai sawah tersebut tidak berkurang meskipun ditanami. Semua harus dikembalikan pada prinsip hutang sebagai akad tabarru’at, akad yang motifnya murni untuk membantu bukan mendapat keuntungan.
Jadi kesimpulannya, pemanfaatan sawah dan membagi hasilnya menjadi dua atau bahkan sepenuhnya diambil pemberi hutang adalah dilarang. Karena berarti hutang itu berkembang dari jumlah yang dipinjam oleh peminjam misalnya sebesar 1 juta menjadi 1 juta + hasil panen selama masa peminjaman. Sebaiknya yang diserahkan cukup sertifikat saja agar tidak terjadi kerancuan. Toh nilai sawah tersebut tidak berkurang meskipun ditanami. Semua harus dikembalikan pada prinsip hutang sebagai akad tabarru’at, akad yang motifnya murni untuk membantu bukan mendapat keuntungan.
DAFTAR PUSTAKA
Drs.
D. Sirojuddin Ar (Ensiklopedi Hukum Islam) PT Ichtiar Baru van Hoevo,
Jakarta. 2000
Al-Qur’anul
Karim
Msi
Suherdi Hendi H. Drs, Fiqh Muamallah, PT RajaGrafindo Persada : jakarta
2002.
MA
Karim Helmi. Dr, Fiqh muamallah, PT RajaGrafindo Persada 2002 :
Jakarta 2002
I’ Doi Rahman A, Syariat Hukum
Islam, PT RajaGrafindo Persada : Jakarta 1996