Jika Ingin sukses dalam karir belajarlah seperti ilmu PADI,,jika Ingin sukses dalam percintaan belajarlah seperti ilmu MERPATI,, Jika Ingin sukses dunia akhirat belajarlah seperti ilmu NABI,,

Senin, 08 April 2013

HUKUM GADAI AGAMA ISLAM



BAB.I.
PENDAHULUAN

Ø  Latarbelakang

Sesungguhnya Alloh Ta’ala menjelaskan berbagai hukumNya baik dalam ibadah maupun mu’amalah. Terkandung di dalamnya kemaslahatan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Alloh telah mengatur manusia dengan aturan baku, penuh hikmah dan tidak ada kezhaliman yang timbul darinya. Sehingga terciptalah kerukunan, kedamaian dan terselesaikanlah pertikaian dan perselisihan sesama manusia ketika memperebutkan hak masing-masing. Di antara aturan tersebut, Alloh mengatur bagaimana manusia tukar menukar barang yang saling mereka butuhkan dan tidak membiarkan manusia memenuhi kebutuhannya menurut hawa nafsunya – yang memang diantara tabiat manusia ialah suka berbuat zhalim terhadap sesama (firman Allah QS. Al-Ahzab [33]: 72) kecuali mereka yang dirahmati Alloh Ta’ala.

            Alloh menjelaskan jalan-jalan menuju keridhaanNya dan menutup segala jalan menuju kemurkaanNya. Sebagai satu bukti, ketika seseorang tidak mempunyai harta/uang – sedangkan dia sangat membutuhkannya – maka dia boleh meminjam harta/uang kepada orang lain baik dengan jaminan atau tanpa jaminan, demi terpenuhi kebutuhan yang diinginkannya. Adapun barang yang dijadikan jaminan itu disebut barang gadai.

            Berikut ini kami jelaskan sedikit masalah “gadai” menurut pandangan Islam dengan merujuk kepada nash-nash / dalil-dalil yang shahih dan pendapat para ulama, diantaranya empat madzhab yang telah kita kenal. Semoga Alloh memudahkan dan menjadikan manfaat bagi kita semua.

Ø  Permasalahan
ü  Apa yang dimaksud makna gadai ?
ü  Hukum gadai dalam islam?
ü  Barang yang bleh digadaikan?
ü  Hukum dari pemanfaatan barang gadai?

BAB.II.
PEMBAHASAN
PEMANFAATAN BARANG GADAI

Ø  Makna Gadai
Makna gadai secara etimologi / bahasa adalah “tertahan” sebagai mana dalam satu ayat al-Qur’an: “Tiap-tiap jiwa tertahan (untuk mempertanggungjawabkan) atas apa yang telah diperbuatnya (QS. Al-Muddatstsir [74]: 38) Atau bermakna “diam tidak bergerak”, sebagaimana dikatakan para ahli fiqh: “Haram bagai seseorang kencing di air yang rahin, yaitu air yang tidak bergerak” Makna gadai menurut istilah ahli fiqh adalah “barang yang dijadikan sebagai jaminan hutang apabila tidak dapat melunasinya”. (Lihat Fathul Bari 5/173, al-Mughni 6/443, Aunul Ma;bud 9-10 / 319)

Ø  Hukum Gadai Dalam Islam
Para ulama bersepakat, hukum gadai secara umum diperbolehkan[2]. Ini didasari beberapa dalil, di antaranya:
Dalil dari al-Qur’an
”Dan jika kamu dalam perjalanan (dan sedang bertransaksi tidak secara tunai), sedang kamu tidak mendapati penulis, maka hendaklah ada barang gadai (tanggungan) yang dipegang”. (QS. Al-Baqarah [2] : 283)
Dalil dari Sunnah
Dari Aisyah Radhiyallahu’anha bahwasanya Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi, kemudian beliau menggadaikan perisai perangnya. (HR. Bukhari 3/73, 81, 101, 186, 187, Muslim 3 / 1226)

Ø  Barang Yang Boleh Digadaikan
Segala sesuatu yang boleh diperjualbelikan maka boleh dijadikan barang gadai / jaminan, sehingga apa saja yang tidak boleh diperjualbelikan maka tidak boleh digadaikan. Hal ini dikarenakan maksud menggadaikan sesuatu adalah untuk jaminan apabila tidak dapat melunasi hutangnya, sehingga apabila penggadai (pemilik barang) tidak bisa melunasi hutangnya, maka barang tersebut bisa dijual untuk melunasi hutang tersebut, dan ini akan terwujud dengan barang yang bisa diperjualbelikan. ( ar-Raudhul Murbi’ Syarh Zadul Mustawni’, Manshur bin Yunus al- Bahuti, hal. 364)
Ø  Hukum dari Memanfaatkan barang gadai
            Jumhur (mayoritas) ulama bersepakat bahwa barang yang sedang digadaikan tidak boleh dimanfaatkan oleh pemegang barang kecuali dengan seizin pemilik barang. Hal ini disebabkan karena pemegang barang tidak memiliki hak, bahkan barang tersebut sekedar amanah, sehingga tidak berhak memanfaatkannya. Hal ini didasari oleh sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam: “Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari (pemilik)nya”. (Hadist shahih, dishahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dh’if Jami’ush Shaghir no. 7662 dan Irwa’ul Ghalil no. 1761, 1459)
Ø  Boleh Memanfaatkan Barang Gadai Sekedar Pengganti Biaya Perawatan
Menurut madzhab Hambali yaitu diperbolehkan Apabila barang gadai membutuhkan biaya perawatan seperti hewan yang membutuhkan biaya makan, minum dan yang lainnya, maka biaya ini pada asalnya ditanggung oleh penggadai (pemilik barang), karena pemilik barang pada asalnya menganggung semua kerugian dan memiliki semua hasil keuntungan yang timbul dari barangnya.
            Misalnya; apabila seseorang menggadaikan sebuah tokonya yang besar, sedangkan situasi di tempat tersebut tidak aman dan sangat dikhawatirkan adanya para pencuri yang akan mencuri di toko tersebut, maka pemegang toko boleh menyewa para penjaga toko/ satpam untuk menjaga agar toko terebut selamat dari gangguan pencuri, dan yang menanggung biaya sewa satpam adalh penggadai (pemilik toko) itu.
            Apabila barang yang digadaikan bisa dimanfaatkan, sedangkan barang terebut membutuhkan biaya perawatan, dan pemilik barang tidak memberi biaya perawatannya, maka pemegang barang boleh memanfaatkannya, akan tetapi hanya sebatas / seimbang dengan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan memelihara barang tersebut, hal ini didasari oleh satu hadist: Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu berkata bahwa Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Punggung (hewan yang dapat ditunggani) boleh ditunggangi sebatas pengganti biaya yang telah dikeluarkan, dan air susu (hewan yang bisa diperah susunya) boleh diminum sebatas biaya yang telah dikeluarkan apabila (hewan-hewan tersebut) sedang digadaikan, serta yang menunggangi dan yang minum susunya harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya” (HR. Bukhari 2511, 2512)
Hadist di atas menunjukkan, pemegang barang berhak memanfaatkan barang gadai sebatas pengganti biaya yang dikeluarkan untuk perawatan barang gadai, seperti biaya makan dan minum setiap hari dan lainnya. (Lihat Subulus Salam al-Mushilah ila Bulughil Maram 5/161) Dari hadist di atas bisa kita ketahui bahwa bolehnya memanfaatkan barang gadai tersebut membutuhkan biaya perawatan. Sedangkan barang gadai yang tidak membutuhkan biaya perawatan selama digadaikan seperti perhiasan, alat-alat rumah tangga dan lainnya tidak boleh dimanfaatkan oleh pemegang barang kecuali dengan seizin pemilik barangnya, sebagaimana penjelasan yang telah lalu.
Dan dari hadist di atas pula (dari perkataan “sebatas biaya yang dikeluarkan”), bahwa bolehnya pemegang barang memanfaatkan barang gadai dengan syarat harus seimbang antara pemakaian/pemanfaatan barang dengan biaya yang dikeluarkan untuk biaya perawatan barang tersebut, dan tidak boleh berlaku zhalim atau sampai membahayakan barang gadai tersebut. Misalnya; apabila seseorang menggadaikan sapi perahnya kepada orang lain, maka boleh bagi pemegang barang memerah susu sapi tersebut dan memanfaatkan susunya sebatas pengganti biaya perawatan sapi perah itu. Apabila biaya perawatannya selama seminggu adalah sebesar Rp 100.000 sedangkan hasil perahan susunya selama satu minggu adalah Rp 150.000, maka pemegang barang hanya berhak mengambil yang seimbang dengan biaya perawatannya yaitu Rp. 100.000. kemudian pemegang barang harus mengembalikan lebihnya yaitu Rp 50.000 kepada pemilk barang gadai karena ini adalah haknya. (asy-Syahrul Mumti’ 9/97, dengan perubahan angka dan penyesuaian)
Ø  Apabila Jatuh Tempo Pembayaran Hutang
            Apabila telah datang waktu (jatuh tempo) yang disepakati untuk pembayaran hutang, maka ada beberapa kemungkinan yang terjadi:
  • Apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang dan penggadai (pemilik barang) telah mendapati / mempunyai harta untuk melunasi hutangnya, maka dia harus bersedia membayar hutangnya, dan mengambil kembali barang gadai yang telah dijadikan sebagai jaminannya. Karena inilah kewajiban setiap orang yang mempunyai tanggungan, menepati perjanjian dan tidak mengingkarinya, sebagaimana firman Alloh berfirman: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad perjanjian kalian! (QS. al-Maidah [5] : 1)
  • Apabila penggadai (pemilik barang) tidak bisa melunasinya disebabkan ketidakmampuannya, maka disyari’atkan bagi pemegang barang untuk bersabar menunggu sampai penggadai (pemilik barang) mampu dan bisa membayar hutangnya, sedangkan penggadai (pemilik barang) harus berusaha mendapatkan harta untuk melunasi hutangnya karena ini merupakan tanggungannya. Firman Alloh Ta’ala :
    Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan (QS. al-Baqarah [2] : 280)
            Dan pemilik barang masih mempunyai kesempatan untuk mendapatkan kembali barang yang digadaikan, dan barang tersebut masih tetap hak milik penggadai sebagaimana sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang telah lalu. Ibnu Atsir mengatakan , “Termasuk perbuatan kaum jahiliyah, apabila penggadai/pemilik barang tidak mampu melunasi hutangnya, maka secara otomatis barang tersebut menjadi milik pemegang barang. Agama Islam membatalkan anggapan seperti ini”
            Akan tetapi apabila pemegang barang ingin menarik / menuntut haknya karena dia membutuhkannya – misalnya – maka dia berhak menuntut haknya supaya pemilik barang bersedia menjual barang yang digadaikan tersebut, dan hasil penjualan barang gadai dipakai untuk melunasi hutangnya.
  • Apabila penggadai (pemilik barang) tidak mau melunasi hutangnya padahal dia dalam keadaan lapang atau mampu untuk melunasi hutangnya, maka hakimlah yang menghukumi masalah ini. Dan barang gadai harus dijual lantas hasil penjualannya dipakai untuk melunasi hutangnya, walaupun penggadai atau pemilik barang tidak rela barangnya dijual. Hal ini telah disepakati oleh para fuqoha (ahli fiqh) (Lihat Kasyful Qana’ 3/330, al-Fiqhul Islami 5/275 )

Ø  Apabila Pemilik Barang Gadai Rusak / Hilang Di Tangan Pemegang Barang

            Apabila barang gadai rusak/hilang di tangan pemegang barang gadai tersebut, maka pemegang barang tidak menanggungnya, dan yang menanggung adalah pemilik barang (penggadai barang) itu sendiri, kecuali apabila ada unsur kesengajaan yang dilakukan oleh pemegang barang.
            Hal ini didasari oleh sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang telah lalu, yaitu :”keuntungan dan kerugian adalah haknya (penggadai / pemilik barang)”. Dan didasari pula karena barang yang ada di tangan pemegang adalah amanah, maka barang tersebut tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan seizin pemiliknya yang sah; sedangkan orang yang diberi amanah tidak menanggung kerusakan kecuali jika ada unsur kesengajaan. Juga dikarenakan orang yang memegang amanah afalah orang yang berbuat baik kepada sesamanya sehingga tidak ada jalan menyalahkannya kalau dia tidak menyengaja. Alloh berfirman: “Tiada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik, dan Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. at-Taubah [9] : 91)
Misalnya; seseorang menggadaikan mobilnya kepada si fulan, kemudian si fulan menggunakan mobil ini untuk mengangkut penumpang tanpa seizin penggadainya. Sehingga dalam jangka waktu sekian lama, mobil itu rusak dan membutuhkan biaya perbaikan yang besar. Maka si fulan harus menanggung semua biaya perbaikan mobil tersebut karena ada unsur kesengajaan dirinya atas terjadinya kerusakan mobil tersebut
Misal lain; seandainya pada permisalan di atas tadi si fulan tidak menggunakan mobil itu, bahkan menyimpannya di tempat yang selayaknya, kemudian datanglah seorang pencuri pada malam hari dan mencuri mobil gadai tersebut, maka si fulan tidak menanggung kehilangan mobil tersebut karena tidak ada unsur kesengajaan dari si fulan (pemegang barang) ini.
Demikian pembahasan pegadaian menurut Islam. Mungkin masih ada poin-poin yang belum terbahas dan kurang sempurna, atau belum mencakup semua sistem pegadaian yang ada di tanah air kita.
Perlu diingat, hukum yang kami sebutkan dalam pembahasan ini (diperbolehkannya pegadaian) adalah yang sesuai dengan syari’at Islam berikut syarat-syarat yang telah kami sebutkan di atas. Adapun sistem pegadaian yang ada di tanah air kita, maka tidaklah bisa dihukumi secara umum diperbolehkan, terutama apabila didalamnya ada sistem-sistem yang menyelesihi syari’at Islam. (Dari majalah al Furqon Edisi 7 / Shafar 1427 halaman 37-41
BAB.III.
KESIMPULAN

            mayoritas ulama mengembalikan hak pakai barang tersebut kepada pemilik aslinya asalkan pemakaian tersebut tidak mengurangi nilai jual barang. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi:
لاَ يَغْلَقُ الرَّهْنُ لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ
            “Janganlah (yang diberi gadai) menahan/mengambil barang gadaian (dari orang yang menggadaikan) karena ia (yang menggadaikan) berhak atasnya dan menanggung biaya pemeliharaannya.” (HR. Bihaqiy, Daruqutniy dan Ibnu Hibban).
            Namun, jika pemegang gadai membayar atau memberikan imbalan atas pemanfaatan barang gadai tersebut sebesar nilai manfaat yang diambilnya, madzhab Hanbali membolehkan. Mereka menilainya sebagi sewa. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi:
            “(Hewan) boleh dikendarai jika digadaikan dengan pembayaran tertentu, susu hewan juga boleh diminum bila digadaikan dengan pembayaran tertentu, dan terhadap orang yang mengendarai dan meminum susunya, ia wajib membayar”. (HR Bukhari, no : 2329).
            Jadi kesimpulannya, pemanfaatan sawah dan membagi hasilnya menjadi dua atau bahkan sepenuhnya diambil pemberi hutang adalah dilarang. Karena berarti hutang itu berkembang dari jumlah yang dipinjam oleh peminjam misalnya sebesar 1 juta menjadi 1 juta + hasil panen selama masa peminjaman. Sebaiknya yang diserahkan cukup sertifikat saja agar tidak terjadi kerancuan. Toh nilai sawah tersebut tidak berkurang meskipun ditanami. Semua harus dikembalikan pada prinsip hutang sebagai akad tabarru’at, akad yang motifnya murni untuk membantu bukan mendapat keuntungan.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. D. Sirojuddin Ar (Ensiklopedi Hukum Islam) PT Ichtiar Baru van Hoevo, Jakarta. 2000
Al-Qur’anul Karim
Msi Suherdi Hendi H. Drs, Fiqh Muamallah, PT RajaGrafindo Persada : jakarta 2002.
MA Karim Helmi. Dr, Fiqh muamallah,  PT RajaGrafindo Persada 2002 : Jakarta 2002
  I’ Doi Rahman A, Syariat Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada : Jakarta 1996
 


Jumat, 15 Maret 2013

HAKIKAT KURIKULUM PAI


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Berbicara tentang kurikulum adalah berbicara tentang kontens dan struktur keilmuan dalam pendidikan.Kurikulum sebagai komponen utama harus mendapat aksentuasi yang mendalam bagi setiap pengembang dan praktisi di setiap satuan pendidikan.Kurikulum pendidikan Islam, seperti yang diinginkan para pakar dan ahli pendidikan Islam, harus dibangun dari formulasi pemahaman terhadap wahyu ilahiyah dan realitas empirik yang mewadahinya (kauniyah).

Kurikulum pendidikan Islam memiliki misi untuk menjabarkan pesan kitab suci dan sunnah Nabi agar dapat membenahi kualitas hidup manusia ke arah lebih baik. Suatu misi (risalah) kemanusiaan yang sangat mulia dalam rangka membentuk sikap mental lulusan yang berperadaban dan menjunjung tinggi nilai insani.Sesuai dengan konteks Indonesia, pendidikan Islam sangat dipengaruhi oleh budaya, ideologi dan cara keberagamaan yang kuat. Oleh karenanya, kurikulum pendidikan Islam diformat yang mampu menyentuh sesuatu yang substansial seperti yang dikehendaki oleh nilai-nilai budaya, ideologi dan tingkat keberagamaan yang terdapat dalam bangsa ini.Kontekstualisasi kurikulum pendidikan Islam diharapkan memberikan kontribusi yang positif terhadap prilaku peserta didik, terutama pembetukan budi pekerti, kesadaran spiritualitas keagamaan, serta kematangan intelektual dan profesional.

Kurikulum pendidikan Islam harus dibangun secara integral antara dimensi kewahyuan, dimensi kealaman dan dimensi sosial kemanusiaan.Melalui integralisasi dimensi-dimensi tersebut, kurikulum pendidikan Islam dimaksudkan untuk memecahkan problematika dalam dunia pendidikan (Islam).Secara filosofis, tingkat kemajuan hidup manusia sangat ditentukan oleh rekayasa pendidikan yang berbasis kurikulum unggul, maju dan integral. Atas dasar itulah kurikulum pendidikan Islam tidak boleh mengalami stagnasi inovasi dan memikirkan masa depan yang akan berkembang.



Kurikulum Pendidikan Islam harus menjadi kekuatan (power) yang ampuh untuk menghadapi wacana kehidupan yang lebih krusial.Ketika globalisasi menjadi bagian dari kehidupan manusia, persoalan-persoalan baru muncul dengan aneka ragam bentuknya.Tantangan semacam ini harus direspons secara apresiatif agar kurikulum pendidikan Islam tidak dikatakan sebagai out of date (ketinggalan zaman).Refleksi pemikiran dan rumusan kurikulum pendidikan Islam harus bernafaskan kekinian (up to date).Dalam kaca mata historis memang boleh melihat masa lalu sebagai pelajaran (ibrah), tetapi jangan sampai lupa menaruh perhatian masa kini dan mendatang sebagai modal untuk melakukan improvisasi dan perubahan yang mendasar.

Supaya pendidikan Islam tidak jatuh ke lubang kehancuran, maka proses improvisasi kurikulum harus dilakukan adaptasi dan kontekstualisasi secara terus-menerus. Perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi kurikulum pendidikan Islam jangan pernah berhenti, jika memang ingin menjaga kepercayaan (amanat) dan menegakkan kemajuan masyarakat.Kurikulum pendidikan Islam harus mencari terobosan baru yang sesuai dengan nafas pola hidup umat manusia yang menitik beratkan nilai kemajuan dan terbebas dari kebodohan dan kemiskinan.Sebab secara substantif, antara kebodohan dan kemiskinan itu merupakan dua sifat manusia yang mengkristal dan menjadi lawan nyata bagi dunia pendidikan pada umumnya
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka untuk memudahkan pembahasan, kami buat rumusan masalah sebagai berikut:
1.    Apakah hakekat kurikulum pendidikan Islam?
2.    Apakah asas-asas kurikulum pendidikan Islam?
3.    Apakah prinsip-prinsip yang mendasari kurikulum pendidikan Islam?
4.    Apakah isi dari kurikulum pendidikan Islam?
C.  Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah agar mahasiswa/pembaca tahu tentang:
1.      Hakekat kurikulum pendidikan Islam?
2.      Asas-asas kurikulum pendidikan Islam?
3.      Prinsip-prinsip kurikulum pendidikan Islam?
4.      Isi kurikulum pendidikan Islam?


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Hakekat Kurikulum Pendidikan Islam
Secara etimologi kurikulum berasal dari bahasa Yunani, curir yang artinya pelari dan curure yang berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Istilah ini pada mulanya digunakan dalam dunia olahraga yang berarti a little racecourse (suatu jarak yang harus ditempuh dalam pertandingan olahraga). Sementara pendapat lain mengemukakan bahwa kurikulum merupakan sebuah arena pertandingan tempat pelajar bertanding untuk menguasai pelajaran guna mencapai gelar. Berdasarkan pada istilah ini, maka dalam konteks pendidikan kurikulum dapat diartikan sebagai circe of instruction yakni suatu lingkungan pengajaran dimana guru dan peserta didik terlibat di dalamnya.[1]

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kurikulum sebagai produk (hasil pengembangan kurikulum), kurikulum sebagai program (alat yang dilakukan sekolah untuk mencapai tujuan), dan kurikulum sebagai hal-hal yang diharapkan akan dipelajari oleh peserta didik (meliputi pengetahuan, sikap dan ketrampilan tertentu).
Kurikulum menurut Ali Muhammad alKhawli adalah seperangakat perencanaan dan media untuk mengantar lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan.[2]
Sedangkan menurut Muhammad Omar Muhammad al Thoumy al Syaibany, kurikulum pendidikan Islam dikenal dengan istilah manhaj yang berarti jalan terang yang dilalui oleh pendidik bersama anak didiknya untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap mereka.[3]
Selain itu kurikulum juga dipandang sebagai suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Ketiga pengertian ini merupakan konsep dasar dari kurikulum pendidikan yang mempunyai tujuan pendidikan yang sama.



Kurikulum dapat juga diartikan menurut fungsinya :
a)      Kurikulum sebagai program studi; kurikulum sebagai perangkat mata pelajaran yang mampu dipelajari oleh peserta didik.
b)      Kurikulum sebagai konten; kurikulum adalah sebagai data atau informasi yang tertera dalam buku-buku kelas tanpa dilengkapi dengan data atau informasi lain yang memungkinkan timbulnya belajar.
c)      Kurikulum sebagai kegiatan terencana; kurikulum adalah merupakan kegiatan yang direncanakan tentang hal-hal yang akan diajarkan dan dengan cara bagaimana hal itu dapat diajarkan dengan berhasil.
d)     Kurikulum sebagai hasil belajar;kurikulum sebagai seperangkat tujuan yang utuh untuk memperoleh suatu hasil tertentu tanpa menspesifikasi atau menjelaskan secara terperinci cara-cara yang dituju untuk memperoleh hasil tersebut, atau seperangkat hasil belajar yang direncanakan dan diinginkan.
e)      Kurikulum sebagai reproduksi cultural; kurikulum sebagai transfer dan refleksi butuir-butir kebudayaan masyarakat, agar dimiliki dan dipahami anak-anak generasi muda masyarakat tersebut.
f)       Kurikulum sebagai pengalaman belajar; kurikulum sebagai keseluruhan pengalaman belajar yang direncanakan di bawah pimpinan sekolah.
g)      Kurikulum sebagai produksi; kurikulum sebagai seperangkat tugas yang harus dilakukan untuk mencapai hasil yang ditetapkan terlebih dahulu.

Kurikulum juga bisa diartikan sebagai sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial, olahraga dan kecakapan yang disediakan oleh sekolah bagi murid-muridnya dengan maksud untuk menolongnya berkembang secara menyeluruh dalam segala segi dalam mengubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan pendidikan.

Adapun secara terminologis, kurikulum adalah a plan for learning yang disiapkan dan direncanakan oleh para ahli pendidikan untuk pelajaran anak didik baik berlangsung di dalam kelas maupun di luar kelas.




Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa kurikulum pendidikan Islam pada hakekatnya merupakan kegiatan yang mencakup berbagai rencana kegiatan peserta didik yang terperinci berupa bentuk-bentuk materi pendidikan, saran-saran strategi belajar mengajar dan hal-hal yang mencakup pada kegiatan yang bertujuan mencapai tujuan yang diinginkan dengan mengacu pada nilai-nilai ajaran Islam.
Adapun ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
1)      Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuan, kandungan, metode dan tehniknya yang bercorak agama.
2)      Memperhatikan dan membimbing segala pribadi peserta didik baik dari sisi intelektual, psikologis, sosial maupun spiritualnya.
3)      Memperhatikan keseimbangan berbagai aspek ilmu pengetahuan.
4)      Kurikulum yang disusun selalu disesuaikan denganb bakat dan minat peserta didik.
5)      Bersifat dinamis dan fleksibel yakni sanggup menerima perkembangan dan perubahan apabila dipandang perlu.[4]
B.   Asas Kurikulum Pendidikan Islam
            Suatu kurikulum tak terkecuali kurikulum pendidikan Islam harus mengandung beberapa unsur utama, seperti tujuan, isi mata pelajaran, metode mengajar dan penilaian.Kesemua unsur tersebut harus tersusun dan mengacu pada sumber kekuatan yang menjadi landasan dalam pembentukannya. Sumber kekuatan tersebut dikatakan sebagai asas-asas pembentuk kurikulum pendidikan.
            Muhammad al Thoumy al Syaibany mengemukakan asas-asas pembentuk kurikulum sebagai berikut:
1.      Asas religius/agama
Kurikulum pendidikan Islam yang diterapkan berdasarkan nilai-nilai ilahiyah sehingga dengan adanya dasar ini kurikulum diharapkan dapat menolong peserta didik untuk membina iman yang kuat, teguh terhadap ajaran agama, berakhlak mulia dan melengkapinya dengan ilmu yang bermanfaat di dunia dan akhirat.
2.      Asas falsafah
Asas ini memberikan arah tujuan pendidikan Islam. Dengan dasar filosofis maka kurikulum akan mengandung suatu kebenaran  terutama kebenaran di bidang nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang diyakini sebagai suatu kebenaran.

3.      Asas Psikologis
Asas ini mempertimbangkan tahapan kejiwaan peserta didik, yang berkaitan dengan perkembangan jasmaniah, intelektual, bahasa, emosi dan lain-lain, sehingga dengan landasan ini kurikulum bisa memberikan peluang belajar bagi anak-anak dan bagaimana belajar itu berlangsung, serta dalam keadaan bagaimana anak itu bisa memberikan hasil yang sebaik-baiknya.
4.      Asas Sosiologis
Kurikulum diharapkan turut serta dalam proses kemasyarakatan terhadap peserta didik, penyesuaian mereka dengan lingkungannya, pengetahuan dan kemahiran yang akan menambah produktifitas dan keikutsertaan mereka dalam membina umat dan bangsanya.

Selanjutnya perlu ditekankan bahwa satu asas dengan asas lainnya merupakan suatu kesatuan yang integral sehingga dapat membentuk kurikulum pendidikan Islam yang terpadu, yaitu kurikulum yang relevan dengan kebutuhan pengembangan anak didik dalam unsur ketauhidan, keagamaan, pengembangan pribadinya sebagai individu dan pengembangannya dalam kehidupan sosial. 

C. Prinsip-Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam
Pada tingkat dasar, penyusunan struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat mendasar, umum, terpadu, dan merata bagi semua anak didik yang mengikutinya.Untuk menentukan isi kurikulum pendidikan Islam dibutuhkan syarat yang perlu diajukan dalam perumusannya, yaitu;
a)      Materi yang tersusun tidak menyalahi fitrah manusia.
b)      Adanya Relevansi Dengan Tujuan Pendidikan Islam.
c)      Sesuaikan dengan tingkat perkembangan dan usia peserta didik.
d)     Perlunya membawa anak didik kepada objek empiris, praktik langsung, dan mempunyai fungsi pragmatis. Sehingga mereka mempunyai ketrampilan- ketrampilan yang riil.
e)      Penyusunan kurikulum yang bersifat integral, terorganisir dan terlepas dari segala kontradiksi antara materi satu dengan materi yang lain.
f)       Materi yang disusun mempunyai relevansi dengan masalah- masalah yang mutakhir, yang sedang dibicarakan dan relevan dengan tujuan negara setempat.
g)      Adanya metode yang mampu menghantar tercapainya materi pelajaran dengan memperhatikan perbedaan masing- masing individu.
h)      Materi yang disusun mempunyai relevansi dengan tingkat perkembangan peserta didik.
i)        Memperhatikan aspek - aspek sosial.
j)        Materi yang disusun mempunyai pengaruh positif terhadap peserta didik.
k)      Memperhatikan kepuasan pembawaan fitrah, seperti memberikan waktu istirahat dan refresing untuk menikmati suatu kesenian.

Adapun mengenai penyusunan kurikulum pendidikan Islam sendiri harus menganut prinsip-prinsip berikut:
1.      Kurikulum pendidikan Islam harus memiliki pertautan sempurna dengan agama. Oleh karena itu, setiap hal yang berkaitan dengan kurikulum, termasuk filsafat, tujuan, kandungan, metode pembelajaran serta hubungan-hubungan yang berlaku dalam lembaga pendidikan Islam haruslah berdasarkan pada agama dan akhlak Islam serta terisi dengan jiwa ajaran Islam. Prinsip ini harus tetap dijaga bukan hanya terhadap ilmu syariat melainkan pada segala hal yang terkandung dalam kurikulum termasuk ilmu akal dan segala macam kegiatan dan pengalaman.
2.      Menyeluruh pada tujuan-tujuan kurikulum yang meliputi segala aspek pribadi peserta didik. Oleh karena itu apabila segala tujuan harus meliputi harus meliputi segala kepribadian peserta didik, maka segala kandungannya harus meliputi segala yang berguna untuk membina pribadi peserta didik.
3.      Keseimbangan relatif antara tujuan dan kandungan kurikulum. Jika kurikulum memberi perhatian besar kepada perkembangan spiritual dan ilmu-ilmu syariat, maka aspek spiritual itu tidak boleh melampaui aspek penting yang lain dalam kehidupan.
4.      Kurikulum berkaitan dengan bakat, minat, kemampuan dan kebutuhan peserta didik. Bahkan tidak hanya itu, kurikulum pendidikan Islam juga berhubungan dengan alam sekitar, fisik dan sosial di mana peserta didik hidup dan berinteraksi untuk memperoleh pengetahuan, kemahiran, pengalaman dan sikapnya.
5.      Pemeliharaan perbedaan individu diantara para peserta didik dalam bakat, minat, kemampuan, kebutuhan dan segala masalahnya. Di samping itu juga menjaga perbedaan jenis kelamin, karena semua itu dapat membuahkan kesesuaian kurikulum dengan segala hal yang dibutuhkan peserta didik.
6.      Menerima perkembangan dan perubahan sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Islam menjadi sumber falsafah, prinsip-prinsip dan dasar kurikulum. Oleh karena itu yang berperan dalam pengembangan dan merubah kurikulum pendidikan Islam ini adalah semua umat Islam, jika dipandang adanya kemaslahatan bagi masyarakat apabila perubahan dilakukan.
7.      Berkaitan dengan berbagai mata pelajaran dengan pengalaman-pengalaman dan aktifitas yang terkandung dalam kurikulum. Kurikulum pendidikan Islam sangat tidak setuju terhadap kurikulum yang tidak tersusun mata pelajaran dan pengalamannya.[5]



D.   Isi Kurikulum Pendidikan Islam
Materi pembelajran yang terdapat dalam kurikulum pendidikan Islam pada masa sekarang nampaknya semakin luas. Hal ini karena dipicu oleh kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya, selain juga semakin beratnya beban yang ditanggung oleh pihak sekolah sebagai penyelenggata pendidikan. Oleh karena tuntutan perkembangan yang demikian pesatnya maka para perancang kurikulum pendidikan Islam juga dituntut untuk memperluas cakupan yang terkandung dalam kurikulum pendidikan Islam, antara lain berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran dan pendidikan.

Sebagaimana dikutip oleh alAbrasyi, bahwa Kurikulum Pendidikan Islam terbagi dalam dua tingkatan, yaitu:Tingkatan pemula (manhaj ibtida’i) yang mencakup materi kurikulum pemula difokuskan pada pembalajaran al Qur’an dan as Sunnah, dan tingkatan atas (manhaj ‘ali) yakni kurikulum yang mempunyai dua kualifikasi, yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan dzatnya sendiri , seperti ilmu syari’ah yang mencakup fiqh, tafsir, hadits, ilmu kalam dan ilmu- ilmu yang ditujukan untuk ilmu-ilmu lain, dan bukan berkaitan dengan dzatnya sendiri, seperti, ilmu bahasa, matematika dan mantiq (logika).[6]

AlGhazali membagi isi Kurikulum Pendidikan Islam dengan empat kelompok dengan mempertimbangkan jenis dan kebutuhan ilmu itu sendiri, yaitu : 1). Ilmu- ilmu Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama, misalnya fiqh, tafsir dan sebagainya, 2). Ilmu bahasa sebagai alat untuk mempelajari ilmu al Qur’an dan ilmu agama. 3). Ilmu-ilmu yang fardlu kifayah, seperti matematika, kedokteran, industri, pertanian dan lain-lain. 4). Ilmu-ilmu beberapa cabang ilmu filsafat.
Sedangkan Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir mengambil isi Kurikulum Pendidikan Islam yang berpijak pada QS.Fushshilat ayat 53 yang artinya:
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaa) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri (anfus), sehingga jelaslah bagi mereka bahwa alQur’an itu adalah benar.Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagikamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?”
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri (anfus), sehingga jelaslah bagi mereka bahwa alQur’an itu adalah benar.Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagikamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?”


Dalam ayat ini terkandung tiga isi Kurikulum Pendidikan Islam, yaitu:
1.      Isi kurikulum yang berorientasi pada “ketuhanan”
Ilmu ini meliputi ilmu kalam, fiqh, akhlaq/tasawuf, ilmu-ilmu tentang al Qur’an dan lain- lain.
2.      Isi kurikulum yang berorientasi pada “kemanusiaan”.
Ilmu ini berkaitan dengan perilaku manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sosial, berbudaya dan berakal.Ilmu ini meliputi ilmu sejarah, politik, bahasa, filsafat, psikologi dan lain-lain.
3.      Isi kurikulum yang berorientasi pada“kealaman”.
Ilmu ini berkaitan dengan alam semesta, seperti : ilmu fisika , kimia, pertanian, perikanan, biologi danlain-lain.[7]




BAB III
KESIMPULAN

Dari hasil pembahasan makalah di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1)      Hakekat kurikulum pendidikan Islam adalah kegiatan yang mencakup berbagai rencana kegiatan peserta didik yang terperinci berupa bentuk-bentuk materi pendidikan, saran-saran strategi belajar mengajar dan hal-hal yang mencakup pada kegiatan yang bertujuan mencapai tujuan yang diinginkan dengan mengacu pada nilai-nilai ajaran Islam.
2)      Asas-asas kurikulum pendidikan Islam meliputi; asas religius/agama, asas falsafah, asas psikologis dan asas sosiologis.
3)      Prinsip-prinsip kurikulum pendidikan Islam adalah;
a)      Memiliki pertautan sempurna dengan agama.
b)      Menyeluruh pada tujuan-tujuan kurikulum yang meliputi segala aspek pribadi peserta didik.
c)      Keseimbangan relatif antara tujuan dan kandungan kurikulum.
d)     Berkaitan dengan bakat, minat, kemampuan dan kebutuhan peserta didik.
e)      Pemeliharaan perbedaan individu diantara para peserta didik dalam bakat, minat, kemampuan, kebutuhan dan segala masalahnya.
f)       Menerima perkembangan dan perubahan sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat.
g)      Berkaitan dengan berbagai mata pelajaran dan pengalaman-pengalaman serta aktifitas yang terkandung dalam kurikulum.
h)      Isi kurikulum pendidikan Islam meliputi; isi kurikulum yang berorientasi pada “ketuhanan”; isi kurikulum yang berorientasi pada “kemanusiaan”; dan isi kurikulum yang berorientasi pada“kealaman”.




DAFTAR PUSTAKA


Abdul Aziz, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Penerbit Teras, 2006, hlm. 156.

Muhammad Ali al-Kahwli, Qomus Tarbiyah, English-Arab, Beirut:Dar al’Ilm almaliyyin,tt.

Oemar Muhammad al Toumy al Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, hlm. 478.


[1] Abdul Aziz, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Penerbit Teras, 2006, hlm. 156.

[2]Muhammad Ali al-Kahwli, Qomus Tarbiyah, English-Arab, Beirut:Dar al’Ilm almaliyyin,tt.

[3]Oemar Muhammad al Toumy al Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, hlm. 478.

[4]Abdul Azis, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Penerbit Teras, 2006, hlm. 159.

, diakses tanggal 14 Juli 2012.

[6]Muhammad Athiyah al-Abrasy, Tarbiyah Islamiyah wa falasifuha, Kairo: al- Habibi, 1969, hlm.